ZmnTv.com, Tangerang – Kemana arah angin bertiup pagi ini
telah gugur daun-daun tua
tanah pun jadi basah
walau tinggal gerimis tercurah
(Penggalan puisi Aspar Paturusi). (23/08/2025)
Di tahun 1982-1983, ketika saya masih duduk di bangku SMKI Sungguminasa, Makassar, dunia seni menjadi napas kehidupan saya. Sekolah seni ini bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga ladang inspirasi yang penuh warna, di mana saya dan teman-teman dikelilingi oleh semangat kreativitas dan kepekaan budaya. Di antara banyak tokoh seni yang mengisi hari-hari saya, nama Aspar Paturusi begitu menonjol, bagaikan bintang yang bersinar terang di langit kesenian Makassar. Bersama seniman lain seperti Yudistira dari Sanggar Teater Merdeka, Ajeip Padindang, Gunawan Monoharto, dan Ibu Munasiah Najamudin, Aspar menjadi idola yang tak hanya menginspirasi, tetapi juga membentuk cara pandang saya terhadap seni.
Saya masih ingat betul suasana SMKI Sungguminasa saat itu. Di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah Bapak Ahmad Tona, yang kebetulan adalah kawan dari paman saya, Abdul Wahab Daeng Paware, sekolah kami menjadi sarang bagi jiwa-jiwa muda yang haus akan ekspresi seni. Bapak Ahmad Tona sering mendorong kami untuk mengeksplorasi berbagai bentuk seni, mulai dari teater, tari, hingga sastra. Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika Ibu Munasiah Najamudin, dengan semangatnya yang luar biasa, mengajak kami ke Benteng Fort Rotterdam. Di sana, kami menyaksikan pagelaran seni, termasuk passinrilik yang dipimpin oleh Sirajuddin Daeng Bantang. Suasana itu begitu hidup, penuh dengan semangat budaya Bugis-Makassar yang kental, dan Aspar Paturusi selalu hadir dalam ingatan saya sebagai sosok yang mampu menjembatani kepekaan lokal dengan universalitas seni.
Aspar Paturusi, pada masa itu, sudah dikenal sebagai penyair, aktor, dan dramawan yang luar biasa. Prestasinya dalam dunia penulisan puisi sangat mengesankan, terutama karena puisinya mampu menangkap jiwa Makassar dengan begitu indah. Karya-karyanya, yang sarat dengan simbolisme laut, perahu pinisi, dan budaya Bugis-Makassar, seperti yang kemudian terlihat dalam Sukma Laut (1985), sudah mulai terasa getarannya di awal 1980-an. Meskipun saya belum memiliki akses langsung ke semua karya tertulisnya saat itu, cerita tentang puisinya sering menggema di kalangan seniman dan pelajar seni seperti saya. Aspar tidak hanya menulis puisi, tetapi juga menghidupkannya melalui pembacaan yang penuh jiwa, sering kali dengan suara berat dan penuh makna yang membuat bulu kuduk merinding. Bagi saya, seorang anak sekolah seni yang masih belajar memahami dunia, Aspar adalah sosok idola yang menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar kata, tetapi juga perjalanan jiwa.
Di antara seniman lain, Yudistira dari Sanggar Teater Merdeka membawa energi teater yang penuh semangat, sementara Ajeip Padindang dan Gunawan Monoharto menghidupkan diskusi seni yang selalu membuat kami, para pelajar, terpukau. Namun, Aspar memiliki tempat khusus di hati saya. Ia bukan hanya seniman, tetapi juga pendiri Dewan Kesenian Makassar, sebuah bukti dedikasinya untuk memajukan budaya lokal. Karya-karyanya, baik dalam puisi maupun drama, selalu membawa nuansa Makassar yang kental, seolah-olah laut Losari dan perahu badik hidup dalam setiap barisnya. Saya sering membayangkan bagaimana ia menulis dengan penuh perenungan, menggali nilai-nilai budaya Bugis-Makassar yang begitu dekat dengan kehidupan kami.
Namun, kenangan indah itu terhenti sejenak di akhir 1983, ketika saya memutuskan untuk merantau ke Tolitoli, Sulawesi Tengah, untuk berkebun cengkeh sambil melanjutkan sekolah di SMA 2 Tambun. Meski jauh dari Makassar, bayang-bayang Aspar Paturusi dan semangat seni yang ia wakili tetap saya bawa. Di tengah kesibukan berkebun dan sekolah, saya sering teringat pada puisinya yang penuh makna dan penampilannya yang memukau. Aspar, dengan caranya yang sederhana namun mendalam, telah menanamkan benih cinta seni dalam diri saya, yang terus bertumbuh meski saya berada di tempat yang baru.
Ketika kembali ke Makassar pada 1985, saya berharap bisa kembali terhubung dengan dunia seni yang pernah begitu saya kagumi. Namun, kesibukan mengikuti berbagai kursus dan sekilas terjun ke dunia jurnalistik di Makassar Press membuat saya kehilangan kontak dengan para seniman. Aspar Paturusi, Yudistira, Ajeip Padindang, dan yang lainnya seolah menjadi kenangan manis dari masa remaja saya. Meski begitu, pengaruh Aspar tetap terasa. Puisinya, yang mengalir seperti ombak Losari, dan semangatnya yang tak pernah padam, terus menginspirasi saya untuk menghargai seni sebagai cerminan kehidupan.
Hingga kini, ketika mengenang masa-masa SMKI Sungguminasa, saya masih bisa merasakan getar semangat Aspar Paturusi. Ia bukan hanya seorang penyair, tetapi juga simbol dari bagaimana seni bisa menjadi jembatan antara identitas lokal dan makna universal. Bagi saya, seorang Saeed Kamyabi yang pernah bermimpi besar di dunia seni, Aspar Paturusi adalah cahaya yang tak pernah redup, mengingatkan saya bahwa dari Makassar, suara puisi bisa menggema ke seluruh dunia.
Terimakasih kepada Daeng Arham, ketua KKSS Jakarta Selatan, yang telah mengundang saya untuk hadir dalam acara Pengukuhan Pengurus DPP KM Bulukumba di Hotel Tavia Jakarta, telah menjadi asbab silaturahmi yang sangat Indah dengan keluarga besar Bugis Makassar khususnya guru seni saya Aspar Paturusi. Wallahu a’lam.
Penulis: Saeed Kamyabi
Tinggalkan Balasan